Selasa, 04 Oktober 2011

Marwah Daud Jenguk anaknya ke Gontor

Ketika sedang berada di Bualemo, Gorontalo (17/11) saya menerima pesan singkat dari Nanda Akmal Firdaus Ibrahim, anak kedua saya yang sedang melanjutkan kuliah di Institut Studi Islam Darussalam sambil mengabdi di Pesantren Gontor, bunyinya: "Mama waktu mahasiswa dulu aktif di mana, Ma?" Saya jawab: "Waktu mahasiswa Mama aktif di HMI, senat mahasiswa, dewan mahasiswa, teater, MC kampus, koran kampus dan kursus bahasa Inggeris."

Besoknya ketika sedang berada di Makassar (18/11), melalui telepon Akmal menyampaikan "Ma, saya sedang dirawat di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM -- rumah sakit pesantren), kata dokter ada gejala tifus." "Mungkin terlalu capek ikut orientasi Nak ya, bagaimana kalau Mama datang menemani di Gontor?" Nanda Akmal menjawab "Tak usah Ma, tidak apa-apa, sudah diberi obat kok, Ma."

Tanggal (20/11) ketika saya dalam perjalanan Jakarta-Ciamis untuk peresmian Pabrik Tapioka dan Mocal Paguyuban Patra-Cendekia, program kerjasama pokja Cassava ICMI dengan Pertamina: Nanda Dian, anak pertama saya, sarjana kedokteran yang kini sedang co-ast di UNHAS kirim pesan. "Mama dan Papa sebaiknya ke dek Akmal, sudah empat hari ia tak tidur, panas belum turun, dan sudah mulai halusinasi. Selain obat dek Akmal perlu ditemani, kasian jika sendirian."

Segera saya kontak Kak Ibrahim: "Bagaimana baiknya Pa? Papa bisa berangkat ke Gontor, Ponorogo dengan kereta Api Bima via Madiun jam 5.00 sore ini atau kita bisa berangkat bersama dengan pesawat via Surabaya besok. Perjalanan Jakarta-Ciamis 12 jam pulang pergi, jadi saya insya Allah baru tiba sekitar jam 9.00 malam di rumah." "Mama kan ada jadwal ke Pekanbaru besok, biar saya duluan berangkat sore ini, Mama ke Riau dulu sesuai komitmen, baru ke Gontor via Surabaya. Dan sebaiknya Mama menemani dulu semalam Nanda Bardan, karena hari ini adalah jadwal libur dua mingguannya kan dari sekolah di JIBBS, Bogor."

Sesuai komunikasi via telepon dan SMS, Kak Ibrahim berangkat jam 5.00 sore menuju Madiun untuk selanjutnya ke Gontor, Ponorogo. Saya sesuai rencana tiba jam 9.00 malam dan masih sempat bersama Nanda Bardan sekaligus menyampaikan rencana saya menengok kakaknya. Dia mengerti dan memberi izin. "Nanti dek Ihsan (sepupunya) kita ajak nemani Nanda Bardan." Kata saya.

Sekitar jam 2 subuh saya sudah bangun menyiapkan tas perlengkapan (siap untuk seminggu, juga air zam-zam yang diminta Nanda Akmal). Barang ini akan dibawa Mas Yusron ke Surabaya. Usai mengemas barang saya melakukan rangkaian sholat malam disertai doa khusus untuk kesembuhan nanda Akmal, dan membaca surah Al-Muluk sambil menanti subuh. Usai sholat subuh saya bersiap dan sudah harus memakai pakaian untuk langsung ke acara pelantikan Gubernur Riau. Sebelum keluar rumah saya minum susu Naco, teh madu, sarapan ringan lalu siap berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta.


Sekitar jam 5.30 subuh dalam perjalanan ke bandara. Kak Ibrahim telepon: "Alhamdulillah, Papa sudah tiba di Gontor dan sudah dengan Nanda Akmal." Di terminal keberangkatan Lion saya bertemu dengan rombongan. Irma Hutabarat, Lastri, Bu Alita dan dua orang wartawan 69++. Kami juga bertemu dengan teman KKSS yang juga akan menghadiri pelantikan. Jam 7.00 pagi kami berangkat dan tiba jam 8.30 kami langsung ke gedung DPRD mengikuti upacara pelantikan.

Usai memberi ucapan selamat kepada Pak Rusli Zainal, Gubernur terpilih, kami makan siang dengan Bupati Inhil, Pak Indra Adnan. Saya sekaligus pamit dan mohon maaf tidak bisa ke Tembilahan menghadiri acara pelantikan beliau sebagai Bupati untuk kedua kalinya. Padahal dengan Inhil kami punya keterkaitan khusus karena Tim MHMMD ikut dalam program pembangunan berbasis pedesaan di Inhil. Tim kami sudah melatih pejabat eselon dua, para camat, kepala desa, kepala sekolah, pimpinan rumah sakit dan puskesmas se-Kabupaten Inhil, Riau.
Sekitar jam 13.00 tatkala mampir sholat di hotel, Nanda Akmal SMS; "Ma, Wisma penuh dengan tamu dari Malaysia dan anggota Badan Wakaf, Hotel sekitar juga penuh, Mama nanti nginap di mana?" Nanda Akmal tak usah repot, Mama dan Papa kan datang untuk temani Nanda Akmal. Mama mau รข€˜lengket' dan nginap bersama Nanda Akmal, bahkan siap tidur di kursi."

Jam 14.00 kami kembali ke Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau. Pesawat yang harusnya berangkat jam 3.00 sore, tertunda antara lain karena menunggu pesawat wakil presiden mendarat dan menurunkan penumpang. Sambil menunggu saya bertemu dan ngobrol dengan Bang Asro dari Antara dan rombongan anggota DPRD Sulsel yang baru kunjungan ke Riau. Baru sekitar jam 5.30 kami berangkat, tiba Jakarta sekitar jam 19.10. Hanya sepuluh menit setelah tiba di ruang tunggu saya boarding untuk berangkat ke Surabaya.

Setiba di Bandara Juanda sekitar jam 21.30 saya SMS Kak Ibrahim. "Alhamdulillah Mama sudah di Surabaya, Pa." Dan segera beliau jawab: "Alhamdulillah tadi siang setelah saya usap rambut/garuk kepalanya, Akmal sudah bisa tidur sekitar 2 jam, kalau tadi pagi buburnya hanya dimakan 2-3 sendok, tadi siang dan malam buburnya sudah dimakan semua. Sejak jam 8.00 malam sudah tidur, sekarang juga masih tidur, jadi don't worry Mom." Saya bersyukur.

Dijemput Mas Yusron dan istri dan seorang pengemudi kami langsung bersiap ke Ponorogo, Gontor. Setelah mampir makan malam saya izin tidur di mobil. Perjalanan kami tempuh sekitar 5 jam. Pas azan subuh kami masuk di kompleks Pesantren Darussalam, Gontor.

Kondisi Nanda Akmal membaik. Bersama Papa diskusi tentang surah favorit dalam Al Qur'an. Nanda Akmal juga membaca buku Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Teman kuliah bergantian datang menjenguk. Beberapa saya kenal karena jika libur nanda Akmal sering mengajak teman dari berbagai daerah tinggal dirumah dan jalan-jalan keliling Jakarta.

"Sayang ya Ma, Akmal tak bisa hadir dan jadi juri acara Panggung Gembira santri kelas 6 malam ini. Tapi Mama bisa ke sana nanti saya kontak teman untuk siapkan tempat duduk untuk Mama." "Mama ke sini kan untuk temani Nanda Akmal, walau pingin lihat acara tapi biar kami di sini saja."

Esoknya kondisi Nanda Akmal semakin membaik. Kami ngobrol dan saya pijit dan gosok punggung, dada, tangan, betis, kaki, leher, dan kepala serta memotong kuku kaki Nanda Akmal. Kami me-review peta hidupnya. Ternyata sudah 7 tahun di Gontor dan ia rencanakan tiga tahun lagi di sana sampai selesai S-1 bidang Pendidikan Agama Islam dengan pendalaman khusus bidang Psikologi. Setelah itu ia rencana akan ke Kanada. Sahabatnya yang datang membesuk juga bertekad tetap mengajar, mengabdi dan selesaikan kuliah, satu akan ke Jepang dan satunya lagi akan ke Malaysia.

Kami juga me-review bersama jadwal hariannya: Pagi mengajar, dalam seminggu 15 jam untuk 4 mata pelajaran, siang di bagian penerimaan tamu, sore dan malam kuliah dan saat ini mengambil 12 mata kuliah, dan jadi moderator Friendster. Saya juga memberikan tips membaca cepat, membuat ringkasan, belajar bersama, dan mengatur waktu. Setelah me-review jadwalnya, dan agar bisa mengisi waktu lebih efektif, kepada Mama, Nanda Akmal minta dibelikan sepeda; dan agar insya Allah lebih sehat kepada Papa ia minta dibelikan sepatu dan baju olah raga.

Setelah tiga hari kak Ibrahim dan dua hari saya mendampingi Nanda Akmal, kami boleh kembali ke Jakarta dan ia sendiri bersiap keluar dari BKSM dan kembali masuk asrama.

Ketika saya tanya kami harus bayar berapa, Nanda Akmal menjawab: "Saya kan ustadz Ma, jadi tidak bayar, paling biaya tes darah sebesar Rp 80.000."

Sejak Nanda Akmal mondok, kami sekeluarga sering berkunjung ke Pesantren Gontor, terakhir sekitar sebulan lalu -- usai lebaran Idul Fitri - ketika mengantar nanda Akmal kembali setelah libur Ramadhan dan kami bersama keliling Pulau Jawa. Setiap kunjungan saya melihat sangat banyak sisi positif dari pesantren ini sebagai pusat pendidikan dan pengembangan karakter dan peradaban a.l.: suasana religius, sikap kemandirian, rasa kebersamaan dan jaringan antar santri dan alumni, tingkat kepercayaan diri, sense of purpose dan rencana masa depan, rasa hormat kepada pimpinan dan orang tua, panggilan tanggung jawab, jiwa pengabdian, kesederhanaan hidup, tingkat kedisiplinan dan rasa bangga pada almamater, masya Allah sangat tinggi dan sungguh luar biasa!

Seperti saya utarakan ketika acara dialog dengan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir beberapa waktu lalu: "Nusantara bisa berjaya, dan tampil menjadi salah satu pemimpin peradaban bukan hanya di Asia tapi Dunia jika kita mampu meningkatkan kualitas Imtaq dan Iptek manusia yang subhanallah nomor empat terbesar di dunia. Untuk itu kita perlu membangun dan mengembangkan pusat pendidikan berasrama a.l. model pesantren yang berkualitas unggul di 500 kabupaten atau kalau perlu di 6.000 kecamatan Indonesia."

Hari ini, di kamar ustadz BKSM saya samakin yakin bahwa Pesantren Darussalam, Gontor adalah salah satu model sistem pendidikan dan pembentukan karakter terbaik dimiliki bangsa ini dan semoga salah satu terbaik di dunia.

Nanda Akmal. Sehat Nak ya. We love you very much.

Pesantren Gontor... Selamat menyiapkan generasi baru Indonesia menyongsong Nusantara Jaya 2045. Insya Allah. Amiin.

(marwahdi@yahoo.com dan www.marwahdaud.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alkin System