BANDUNG – Keripik singkong yang dikemas ulang menjadikan kudapan jadul ini mampu bersaing dengan kudapan yang dianggap lebih tren. Semakin booming-nya kudapan jadul menginspirasi Agus Hermawan untuk merintis usaha sendiri. Lelaki berusia 30 tahunan ini mencoba berbisnis kacimpring.
Kudapan berupa keripik singkong ini memang telah dikenal di Tatar Sunda sejak jaman dulu. Sebagai kudapan tradisional, kacimpring memang baru sebatas dijual di pasar-pasar tradisional maupun di pinggiran jalan.
"Kebetulan paman saya berjualan kacimpring," kata Agus mengawali pembicaraan dengan SH, belum lama ini. Sang Paman, Ujang Sumarna, berjualan kacimpring di Pasar Palasari Bandung sebagai mata pencaharian sehari-hari.
Menurut Agus pamannya itu sebelumnya bekerja di Sulawesi. Tetapi, karena kecelakaan lalu lintas yang dialaminya ketika bekerja, Ujang di-PHK hingga akhirnya berdagang kacimpring untuk menghidupi anak dan istrinya.
Kacimpring yang dijual Ujang benar-benar masih tradisional. Tanpa kemasan serta dengan rasa yang standar laiknya keripik singkong yang lazim dijual di mana-mana.
Karena tidak ada kemajuan yang berarti dari usaha sang paman itu, Agus lantas ikut turun tangan. Semakin banyaknya kudapan tradisional yang dijual dengan kemasan menarik serta rasa yang beragam menginspirasi Agus.
Di rumahnya di sebuah kampung di bilangan Jl Banteng Bandung, Agus memulai merintis usaha yang benar-benar baru baginya. Langkah pertama adalah mengemas kacimpring buatannya dalam plastik berlabel Mang Ujang.
Inovasi rasa juga dilakukan oleh Agus. Setidaknya ada tiga rasa kacimpring yang dibuatnya, masing-masing orisinal, semipedas, dan ekstra pedas.
Agus sadar inovasi yang dilakukannya tak ada artinya jika pemasaran kacimpiring tetap dilakukan secara tradisional di Pasar Palasari. Jemput bola pembeli kemudian dilakukannya dengan sasaran pasar pertama kali adalah teman sekantor dan koleganya.
Agus tak segan-segan menawarkan kacimpring yang dibawanya untuk dikudap secara gratis oleh teman-temannya. "Bagian dari promosi," kilah Agus sembari tersenyum.
Sesekali Agus menitipkan kacimpring buatannya apabila ada pameran. Promosi dari mulut ke mulut ini terbukti ampuh dengan semakin dikenalnya kacimpring buatannya.
Berangsur-angsur pembelinya terus bertambah. Tak sebatas di lingkungan tempat kerjanya, pesanan dari luar Bandung telah banyak diterimanya. Pangsa kacimpring buatan Agus berbeda-beda. Untuk rasa orisinal lebih banyak diminati kalangan yang telah berumur.
Sementara itu yang rasanya semipedas digemari orang dewasa. "Yang ekstra pedas pembelinya kebanyakan remaja ABG," tutur Agus. Menurut Agus kini dirinya bisa menjual hingga 100 kemasan kacimpring dalam sehari. Harga per kemasan yang hanya Rp 10.000 tak memberatkan kantong pembeli.
Pesanan yang terus bertambah belum semuanya dapat dipenuhi. Keterbatasan modal serta tenaga kerja menjadi faktor penyebab klasik yang dialami usaha kecil seperti yang dirintis oleh Agus ini.
"Tenaga kerja belum bisa ditambah. Baru beberapa orang saja. Itu pun dari kalangan keluarga sendiri," ujar Agus. Untuk urusan modal Agus memenuhinya dari kantong sendiri, mengingat Agus belum berani mengajukan kredit ke perbankan.
Ketiadaan agunan menjadikan langkah Agus untuk mengakses fasilitas kredit perbankan ini harus tertunda. Belum lagi bunga kredit yang dikhwatirkan justru bisa membebani usahanya.
Prinsip pelan-pelan tetapi pasti dipahami betul. Agus memilih menjalankan usahanya perlahan-lahan untuk menuju besar tanpa harus menanggung risiko.
Optimisme masa depan usahanya tetap menyembul di benak Agus. "Insya Allah bisa sukses dengan tetap kerja keras," kata Agus mengakhiri pembicaraan.
Source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar