Senin, 12 Desember 2011

H. Hasanain Juaini : Tiada Hari Tanpa Menanam

Jakarta - Mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, itulah yang dilakukannya. Ia bosan dengan diskusi-diskusi, dengan teori-teori yang mentok pada wacana. Ia pun memutuskan berkarya nyata. Hasilnya, puluhan hektare tanah yang enam tahun lalu tandus, kini menjadi hutan nan menghijau.

“Orang jangan sampai dilarang menebang pohon, karena manusia hidup pada dasarnya kan butuh pohon,” tutur Tuan Guru Hasanain (46) kepada SH via telepon, beberapa waktu lalu. Menurutnya, orang boleh menebang pohon asalkan mau menanam lebih banyak daripada jumlah yang ditebangnya. “Kalau menebang satu, ya tanam 100, lanjut Hasanain.

Perambahan hutan dan penebangan pohon yang berlangsung terus-menerus di tanah kelahirannya, Nusa Tenggara Barat (NTB), memang telah menyebabkan ratusan hektare lahan menjadi gersang. Sumber-sumber mata air menghilang, sektor pertanian dan peternakan tidak optimal, dan warga makin hari kian dicekam berbagai kesulitan hidup.

Pantang Setengah-setengah

Melihat kondisi ini, Hasanain yang mengaku hobi membaca dan bekerja keras ini gerah. Ia pun mengajak warga menanami lagi lahan-lahan tandus itu. Seperti dugaannya, warga Lombok awalnya tak mudah diyakinkan. Mereka harus diberi contoh dulu.

Bagi warga, gagasannya justru dianggap tidak masuk akal karena tanah yang akan mereka garap umumnya berpasir, tanpa hara, dengan keberadaan sumber air yang juga langka. Walau begitu, Hasanain tetap bertekad mewujudkan impiannya itu.

Alih-alih membantu, pada awalnya warga justru menonton saja saat tuan guru sebutan untuk kiai ini mulai bekerja keras menanami sebidang lahan 23 hektare di pinggiran tebing.

Pada tahun 2005 itu, pada awal masa penanaman, tragisnya Hasanain langsung dihadapkan pada kemarau panjang. Tetapi anak kedelapan dari 14 bersaudara ini pantang mundur. Berbekal sebuah ember, kawat, katrol, dan tali nilon setiap hari ia menimba air dari mata air yang letaknya persis 80 meter di bawah tebing.

“Gila memang, kami menimba air lebih dari seribu kali dalam sehari untuk menyirami 4.000 mahoni yang baru kami tanam. Sementara warga sekitar hanya menonton dengan keheranan, karena tanah berpasir itu sangat menyerap air dan pekerjaan kami tampak sia-sia,tutur Yusuf, sekretaris pribadi Hasanain kepada SH via telepon, Senin (7/2).

Terkait tindakan gila ini, beberapa orang dekat Hasanain berkomentar senada. “Tuan Guru selalu menekankan bahwa kalau melakukan apa pun jangan setengah-setengah, harus sampai ada hasilnya,” ujar sopir pribadinya, Rinamin, kepada SH.

Kegigihan Hasanain menunjukkan hasil. Pada tahun pertama, mahoni tumbuh. Bahkan penduduk yang biasa mengambil air ke bawah dengan berjalan memutari sisi tebing selama setengah jam, kini mulai menumpang menimba air melalui ember kecil Hasanain.

Pada tahun itu juga, Hasanain mulai membagikan 360.000 bibit pohon kepada warga. Tahun-tahun berikutnya, berbarengan dengan perbaikan sistem penyaluran air ke lahan-lahan, jutaan bibit dibagikannya lagi hingga ke berbagai penjuru NTB.

Tahun 2011 ini, 500-an pesantren setempat telah terlibat dalam gerakan pembibitan dan penanaman, dan puluhan pusat pembibitan pun telah tersebar di berbagai penjuru NTB. “Sekarang warga sudah mau menanam bahkan mengambil bibit sendiri ke pusat-pusat pembibitan. Kalau tahun-tahun awal, bibit masih kami antar ke rumah mereka, dan mereka pun harus kami bayar agar mau menanam,” kenang Hasanain sambil tertawa.

Selalu Berinovasi

Enam tahun telah berlalu. Puluhan hektare area yang dulu gersang kini ditumbuhi berbagai tanaman kayu setinggi sekitar 3 meter. Mahoni, jati, jati putih, sengon, ketapang, kenari, dan berbagai tanaman kayu kini pun banyak tumbuh di lahan-lahan warga.

Belasan sumber air yang dulu punah kini juga bermunculan lagi, dan beberapa mata air debitnya membesar. Sistem tumpang sari yang dikembangkan kemudian juga memungkinkan masyarakat mendapat hasil dari tanaman-tanaman jangka pendek, bahkan mereka bisa berternak.

Kendati upayanya sudah menunjukkan hasil, Hasanain masih terus menanam pohon. Ia bahkan masih sering mencangkul bersama santrinya hingga tengah malam. “Kami menanam pohon setiap hari. Tiada hari tanpa menanam. Kalau belum selesai akan terus kami lanjutkan, walau sampai malam hari. Tak peduli penanaman mulai dari pagi, siang, atau sore hari,tutur Yusuf.

Ayah empat anak ini memang tak bisa lepas dari berbagai inovasi. Tahun 2003 lelaki yang mengidolakan Thomas Alva Edison ini mendapat penghargaan sebagai pembaharu sosial berkat sepak terjangnya mengembangkan sistem pesantren yang menjunjung nilai demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan gender.

Ia juga dikenal berpikir maju karena berhasil melatih santrinya berpikir kritis dan menghargai keberagaman. Saat ini, selain mengembangkan pendidikan akselerasi khas Haramain, Hasanain juga berupaya agar badan amal dan zakat bisa berkarya mulai dari tataran desa-desa.

Soal Mentalitas

Terkait lingkungan, menurut Hasanain, laju kerusakannya selalu lebih cepat daripada perbaikannya. Masih ada ratusan ribu hektare lahan di NTB dalam kondisi kritis. Ia berharap pemerintah lebih gesit dan gigih melakukan perubahan. “Edison terus mengulangi percobaannya sekalipun ribuan kali gagal, sampai ia menemukan listrik. Mentalitas seperti itu yang saya suka,ungkapnya.

“Dengan kerja keras, kita bisa mengubah lingkungan menjadi lebih baik, tidak ada yang mustahil untuk dilakukan. Misi saya: baik, benar, indah, dan bermanfaat. Artinya, mari kita berbuat tidak hanya yang baik dan benar, tetapi juga harus yang indah dan bermanfaat,” pungkasnya.

Source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alkin System